Rabu, 03 April 2019

5 Faktor penyebab guru sekolah swasta kurang inovatif dan berkembang



Di sekolah swasta yang sehat, maju dan progresif, perbincangan bagaimana mengembangkan kapasitas, potensi dan kompetensi guru adalah menu sehari hari kepala sekolah dan yayasan pengelola. Dalam kenyataan nya belum semua sekolah swasta menyadari bahwa seorang guru adalah aset. Dibawah ini adalah hal yang masih ditemukan di sekolah swasta, kurang lebih menjadi penyebab guru kurang berkembang dan mampu berinovasi.
1.Cara pandang pengelola (yayasan) yang masih konvensional.Membangun dan membuat sekolah memang bisa dijadikan bisnis yang menggiurkan namun hanya jika kepercayaan masyarakat sudah didapatkan. Mengelola sekolah pastinya menggunakan prinsip bisnis agar tujuannya visi dan misi sekolah bisa terwujud. Meraih kepercayaan masyarakat bisa dengan cara yang mudah, cukup berikan paket penawaran masuk sekolah yang bersaing dengan sekolah sejenis dijamin orang tua siswa akan berbondong bondong masuk. Namun situasi akan jadi lain jika saat sudah menyekolahkan anaknya, orang tua siswa melihat dan merasakan pengelolaan yang seadanya dan guru anaknya yang gelisah dan tak punya passion. Cara terbaik dalam meraih kepercayaan masyarakat adalah dengan berdayakan guru sebisanya dan semampu yayasan.
2.Guru masih dianggap sama seperti ‘pekerja biasa’ atau bahkan ‘buruh’.Terbukti dari kebijakan-kebijakan yang terkadang menghantam harga diri guru sedemikian rupa. Misalnya:
  • pengurangan gaji (denda) jika terlambat atau tidak masuk (selain sakit), sakit pun akan dipertanyakan jika surat dokter tidak tersedia.
  • Perekrutan guru yang dicari guru yang mau dibayar semurah mungkin, sekolah bahkan tidak punya standar bagaimana semestinya menggaji guru, dia yang mau dibayar murah dia yang direkrut.
  • Angka turn over (keluar masuk) guru yang tidak menjadi perhatian pengelola sekolah. Semua berasal dari sistem perekrutan, guru yang mengiyakan saja dibayar murah bahkan lebih rendah dari UMR akan berpikir ulang untuk bertahan. Buat tipe guru seperti ini menjadi guru adalah batu loncatan. Keterlaluan kita jika berharap kreativitas dan inovasi dari tipe guru seperti ini. Upaya pelatihan dan peningkatan kompetensi guru pun jadi sia sia dikarenakan angka keluar masuk staf yang tinggi. Ujungnya kepala sekolah yang kerepotan karena tiap tahun ajaran team nya berganti.
Memang di banyak tempat kerja adalah sebuah kewajaran dalam meminta bukti bahwa seorang karyawan tidak masuk atau menghukum karyawan yang terlambat dengan denda. Berbeda dengan di tempat kerja lain, di sekolah memerlukan niat baik, suasana positif dan displin yang asalnya dari dalam diri sendiri dan bukan dari paksaan. Berikan tanggung jawab dan kepercayaan penuh pada kepala sekolah untuk mengelola disiplin staff nya. Jika yayasan turun langsung mengelola disiplin guru hanya akan menghasilkan keributan, perselisihan serta konflik yang tidak perlu.
3.Belum menganggap penting sebuah pelatihan. Pelatihan ada, namun yang diundang adalah semata motivator atau pihak Dinas Pendidikan. Mengundang keduanya bukan ide yang buruk, namun hampir di semua sekolah yang saya pernah kunjungi sampai di pedalaman sekalipun, guru sadar akan tanggung jawab dan semua keseruan (susah dan senang) dibalik profesinya sebagai pendidik. Guru juga sudah sadar betul bahwa semua Permendiknas mengenai ini dan itu dengan mudahnya sekarang di googling (dicari di Google) untuk kemudian diresapi dan dijadikan dasar tindakan dalam praktek keseharian sebagai pengajar. Sebagai profesional guru lebih memerlukan fasilitator pelatihan yang menguasai praktek lapangan dan bukan hanya menyemangati guru habis-habisnya dengan yel yel, teriakan semangat serta cucuran air mata kemudian esoknya guru akan sama lagi cara mengajarnya. Guru lebih perlu teknik, trik, strategi serta pendekatan aplikatif yang membantunya menjawab kebutuhannya di lapangan. Bersikap menye-menye soal profesi guru hanya akan membuat guru bersemangat dan terharu pada saat itu saja lainnya tidak.
4.Sekolah swasta yang sudah sadar akan pentingnya pelatihan pun mesti waspada. Dikarenakan guru yang sudah bersemangat bersedia berinovasi dan berkembang memerlukan ‘tempat bermain’ atau otonomi yang lebih luas untuk melakukan perubahan. Bayangkan jika sekolah sudah menganggarkan mendatangkan pelatih dan mengadakan pelatihan kemudian guru banyak dapatkan manfaat namun terbentur dengan sikap manajemen dan pengelola yang belum memungkinkan inovasi dan perubahan. Maka yang terjadi adalah rasa frustasi yang berkepanjangan. Untuk apa yayasan pengelola sekolah selalu bertujuan memuaskan orang tua siswa (zero complain) lewat sarpras (sarana dan prasarana) namun guru gurunya terkekang dan tak tahu mesti mulai berinovasi dari mana. Peran kepala sekolah dan manajemen pun seperti tak ada. Mereka dianggap guru hanya sebagai wayang nya dari yayasan. Ciri sekolah seperti ini semua perintah inovasi datangnya selalu dari atas (dari yayasan) yang biasanya perintah inovasi datang karena masukan dari orang tua siswa. Bahkan saking kompleksnya pola komunikasi, yayasan sering tidak sadar bahwa banyak masukan dari orang tua siswa asalnya dari guru gurunya juga. Uniknya jika sarannya disampaikan oleh orang tua siswa maka yayasan langsung mewujudkannya. Tak heran guru yang inovatif jadi sering titip pesan pada orang tua siswa kelasnya mengenai usulan perbaikan di sekolah.
5.Kurangnya rasa percaya pihak yayasan pada pengelola/pemimpin sekolah, atau bisa terjadi sebaliknya yayasan terlalu percaya. Jika rasa percaya tidak ada maka hal yang akan terjadi adalah gejala micromanaging atau terlalu perhatian pada hal hal yang kecil. Kepala sekolah akan kerepotan karena wewenang nya sering dipotong atas nama membantu atau perhatian dan keinginan yayasan untuk ingin segera selesaikan masalah. Rasa percaya serta rasa khawatir terhadap sebuah masalah sebenarnya bisa dan sangat mungkin dikomunikasikan. Terlalu percaya kepada kepala sekolah pun tidak sehat, karena sebagai pemimpin di sekolah mereka akan tetap memerlukan pendampingan. Buatlah pertemuan yang terjadwal antara yayasan dan sekolah, dijamin komunikasi akan sehat dan pengelolaan akan makin profesional.
Faktor faktor diatas adalah landasan mengapa pengelola sekolah (yayasan) perlu ubah cara pandang, dari memperkerjakan guru menjadi mengembangkan guru. Cara pandang pengelola mestinya sudah berubah dari mencari guru yang mau dibayar seminim mungkin menjadi mencari guru yang bersedia dikembangkan kemampuan atau profesionalitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar